Adam adalah anak laki-laki terakhir dari sembilan bersaudara. Sejak kecil, ia tumbuh di bawah bayang-bayang kakak-kakaknya yang satu per satu lebih dulu melangkah pergi menikah, merantau, menata hidup mereka sendiri. Ia tertinggal di rumah yang semakin sepi, menemani orang tua yang kian menua, dan dunia yang tak pernah berhenti menuntutnya kuat.
Ketika ayah jatuh sakit, Adam masih terlalu muda untuk memahami arti kehilangan. Namun hidup memaksanya belajar cepat. Ia bekerja apa saja yang bisa ia kerjakan, bukan untuk mengejar mimpi besar, melainkan agar dapur tetap berasap dan obat ayah tak terputus. Di balik senyumnya, ada lelah yang tak pernah sempat diceritakan.
Waktu berjalan seperti air yang tak bisa digenggam. Kakak-kakaknya telah berkeluarga, sementara Adam tetap sendiri. Ia bukan tak ingin menikah, hanya merasa hidup belum memberi izin. Setiap kali pertanyaan itu datang, ia menunduk, menyimpan jawaban dalam doa yang panjang.
Kini Adam masih lajang. Di usianya yang tak lagi muda, ia berdiri sendirian menatap masa depan yang samar. Dunia sering terasa kejam memberi beban tanpa janji, harapan tanpa kepastian. Namun Adam tetap melangkah, meski langkahnya kecil dan tertatih. Ia percaya, hidup bukan tentang siapa yang lebih dulu sampai, tetapi siapa yang tak berhenti berjalan.
Di malam hari, saat bintang tampak pucat di langit, Adam sering berbicara pada dirinya sendiri. Ia tahu, dunia ini hanya persinggahan. Luka, lelah, dan air mata adalah bagian dari perjalanan. Dan meski hidupnya belum utuh menurut ukuran dunia, Adam yakin: setiap perjuangan yang dijalani dengan ikhlas tak akan pernah sia-sia.
Adam mungkin belum menemukan bahagianya. Tapi ia sedang menjemputnya perlahan, dengan sabar, dan dengan keyakinan bahwa Tuhan tidak pernah lalai mencatat perjuangan hamba-Nya.
Catatan: Cerita dan tokoh dalam cerpen ini sepenuhnya merupakan karya fiksi belaka. Apabila terdapat kesamaan nama, tempat, maupun peristiwa dengan kehidupan nyata, hal tersebut semata-mata kebetulan dan tidak disengaja.
Editor: Redaksi




