Penulis: Alek Marzen
Mediapesisirnews.com _ Jauh sebelum deretan rumah kayu berdiri tegak dan bunyi kendaraan memecah sunyi, wilayah yang kini kita kenal sebagai Jalan Kampung Pasir di Kepenghuluan Bagan Punak Pesisir, Kecamatan Bangko, Kabupaten Rokan Hilir, bukanlah sebuah jalan. Ia adalah hamparan pantai luas, sebuah permadani alam yang terbentang di tepi Selat Malaka.
Pantai Berombang Pada masa itu, yang terlihat hanyalah pasir putih kekuningan yang lembut, dibasahi ombak kecil yang bergulir malu-malu.
Namun, keunikan paling mencolok dari pantai ini adalah pepohonan yang tumbuh subur di sepanjang garis pantainya: Pohon Berombang.
Pohon berombang adalah jenis pohon khas pesisir yang batangnya menjulang ramping, daunnya hijau mengilat, dan buahnya kecil-kecil. Pohon-pohon ini tumbuh rapat sekali, membentuk dinding hijau alami yang memeluk pantai.
Bagi para nelayan yang lewat, rimbunnya berombang menjadi penanda lokasi yang takkan salah. Bahkan, jika angin bertiup kencang, daun-daunnya akan mengeluarkan bunyi desir seperti bisikan lembut, seolah menyambut atau mengingatkan.
Selama bertahun-tahun, tempat itu sunyi. Hanya suara ombak, jeritan camar, dan desiran berombang yang menjadi penghuni setia. Airnya jernih, ikannya melimpah, dan udaranya segar. Pantai ini seperti perawan desa yang belum tersentuh hiruk pikuk dunia luar.
Datangnya Para Perintis dari Pasir Limau Kapas
Kabar tentang pantai yang subur dan kaya ikan ini akhirnya sampai ke telinga masyarakat di Pasir Limau Kapas, sebuah wilayah pesisir yang tidak terlalu jauh. Di sana, lahan kian sempit dan hasil tangkapan mulai berkurang.
Pada suatu musim di penghujung hujan, rombongan kecil dari Pasir Limau Kapas memutuskan untuk berlayar.
Mereka dipimpin oleh seorang tetua bernama Datuk Sutan, seorang yang bijak dan ahli dalam membaca arah angin dan gelombang.
Setelah berhari-hari mengarungi lautan, mereka akhirnya tiba di pantai yang didominasi oleh Pohon Berombang tersebut.
"Lihatlah," kata Datuk Sutan sambil menunjuk ke daratan, "Pasir ini sungguh lembut. Tanah di baliknya pasti gembur. Kita akan mulai hidup baru di sini."
Namun, tantangan pertama mereka adalah merintis tempat tinggal. Pohon berombang yang begitu rapat harus ditebang untuk membuka lahan.
Dengan semangat gotong royong, mereka bekerja keras. Mereka menebang, membersihkan, dan mendirikan beberapa rumah panggung sederhana.
Hilangnya 'Berombang' dan Lahirnya 'Jalan Kampung Pasir'
Seiring waktu, perkampungan itu mulai terbentuk. Lebih banyak lagi kerabat dari Pasir Limau Kapas yang menyusul. Mereka tidak hanya mencari ikan, tetapi juga bercocok tanam di lahan yang telah dibuka.
Tempat tinggal baru mereka semakin ramai. Untuk memudahkan komunikasi dan pergerakan, mereka mulai membuka jalur kecil yang memanjang sejajar dengan pantai. Jalur ini pada awalnya hanya berupa tumpukan pasir yang dipadatkan.
Ketika para pendatang ditanya, "Di mana rumahmu?" mereka akan menjawab, "Di sana, di kampung yang dibuka di atas Pasir itu." Lama-kelamaan, nama ‘Kampung di Pasir’ menjadi sebutan yang melekat. Sebutan ini dipilih karena dua alasan:
Karakteristik Tanah:
Jalur utama yang mereka lalui untuk masuk ke perkampungan itu adalah hamparan pasir pantai yang telah mereka padatkan dan ratakan. Mereka bahkan harus menimbun dan mencangkul untuk membedakannya dari pasir pantai biasa.
Kenangan Asal:
Sebagian besar perintis datang dari Pasir Limau Kapas. Mereka ingin nama tempat baru ini tetap membawa kenangan akan asal-usul mereka, yaitu tempat yang memiliki kata "Pasir" dalam namanya.
Cerita Rakyat dan Warisan Nama
Seiring berjalannya waktu, pepohonan berombang yang dulu begitu lebat perlahan berkurang, digantikan oleh rumah, balai pertemuan, dan warung. Kampung itu tumbuh menjadi bagian dari Kepenghuluan Bagan Punak Pesisir.
Namun, penduduk setempat tidak pernah melupakan asal-usul tempat mereka. Mereka sepakat untuk menamai jalur utama di perkampungan itu sebagai Jalan Kampung Pasir. Nama ini adalah pengingat abadi:
Jalan Kampung Pasir bukanlah nama yang diberikan karena jalan ini berlapis pasir semata. Ia adalah nama yang diwariskan dari sejarah.
Ia menandai bahwa di sinilah para perintis dari Pasir Limau Kapas pertama kali menjejakkan kaki, membangun harapan di atas hamparan pasir pantai yang dulu sunyi, dan menjadikannya sebuah kampung yang ramai hingga hari ini.
Maka, hingga kini, ketika Anda melintasi Jalan Pasir yang sudah diseminasi sesungguhnya Anda sedang berjalan di atas warisan sebuah pantai dan sebuah kisah perjuangan. Nama itu adalah bekal sejarah: sebuah jalan yang lahir dari pasir, di tepi laut, oleh semangat para perantau.
Catatan Penulis (Peringatan/Disclaimer)
Sebagai penulis cerita rakyat ini, saya Alek Marzen menyadari bahwa kisah ini adalah hasil rekonstruksi dan pengembangan narasi berdasarkan inti informasi yang diberikan serta imajinasi kreatif.
Tujuan utama dari penulisan cerita ini adalah untuk:
Pengingat Warisan Budaya:
Menghidupkan kembali kisah lisan mengenai asal-usul nama sebuah tempat, dalam hal ini Jalan Pasir di Kepenghuluan Bagan Punak Pesisir, agar tidak hilang ditelan zaman.
Apresiasi Sejarah Lokal:
Mengapresiasi semangat dan perjuangan para perintis dari Pasir Limau Kapas yang membuka perkampungan tersebut.
Perlu diingat bahwa cerita rakyat (folklore) seringkali tidak terlepas dari unsur fiksi, dramatisasi, dan variasi dalam penyampaian. Detail mengenai tokoh, dialog, dan urutan waktu dalam kisah ini mungkin berbeda dari catatan sejarah formal atau ingatan para tetua.
Intinya: Catatan ini berfungsi sebagai penanda dan pengingat bahwa nama Jalan Pasir memiliki sejarah dan makna yang dalam bagi masyarakat setempat, terlepas dari akurasi faktual detail cerita yang disampaikan.
Editor: Redaksi