Ruang tamu itu menelan suara, terasa hampa, terlalu hening hingga sunyi itu sendiri seolah adalah percakapan. Di atas meja kecil, dua map cokelat terbaring kaku, seperti nisan bagi selembar bukti yang selama bertahun-tahun merangkai kisah mereka.
Alya meremas ujung jemarinya, gerakan kecil yang mengkhianati gelisah yang tak tertahankan di dadanya. Sementara Arif, ia menatap map itu dengan mata yang kehilangan nyala. Bukan amarah, bukan sesal hanya kelelahan seorang pelari jarak jauh yang akhirnya memilih berhenti, hanya untuk mengambil napas terakhir sebelum berbalik arah.
“Aku hanya ingin kita selesai dengan damai,” bisik Arif, suaranya nyaris teredam oleh keheningan. “Kita pernah memiliki dua rumah. Adilnya, kita pisahkan dua kenangan itu.”
Alya menahan embusan napas, dadanya sesak, penuh oleh beban yang tak terdefinisikan. Ada keinginan untuk berjuang demi Adel anak yang ia bawa sebelum babak baru ini dimulai. Namun, ia juga tahu, tidak semua keadilan hati bisa dipaksakan pada kerangka hukum yang dingin.
“Aku hanya… memandang ke arah masa depan Adel,” lirih Alya, nadanya rapuh, namun ia berusaha menahan dirinya agar tidak runtuh. “Tetapi aku mengerti… secara ketentuan, Adel bukan tanggunganmu.”
Keterputusan menggantung di udara. Arif menatap Alya lama sekali, seolah sedang menyusun kembali pecahan mozaik hari-hari mereka tawa yang cepat pudar, pertengkaran yang terasa pahit, kehangatan yang telah lama menjadi abu.
“Alya,” katanya, nadanya menyentuh. “Aku menghormati Adel. Tapi jalan ini harus terasa lapang bagi kita berdua. Kita merangkai semuanya bersama. Jadi, pembagian rata adalah cara terbaik kita menghargai kebersamaan itu.”
Jeda itu terasa seperti jurang. Alya menunduk, mencoba mencari titik pusat dari pusaran hatinya. Dan di tengah kehampaan itu, tanpa ia duga, datanglah sebuah penerimaan yang tenang.
Ia mengangguk, gerakan yang nyaris tak terlihat. “Baik. Kita bagi dua.”
Arif mengembuskan napas, bukan karena kelegaan, melainkan seperti seseorang yang akhirnya mengakhiri perjuangan tanpa perlu ada pemenang atau pihak yang kalah. “Terima kasih… karena kita memilih perpisahan yang bermartabat ini.”
Tidak ada luapan air mata. Tidak ada nada tinggi. Yang tersisa hanyalah ketenangan ganjil yang mengisi ruang—sebuah jeda yang hadir ketika dua jiwa akhirnya menyerah untuk saling mengikat.
Tangan mereka bergetar saat membubuhkan tanda tangan. Bukan karena keraguan, melainkan karena kesadaran bahwa lembaran itu adalah penutup bagi segala yang pernah mereka bangun dengan segenap hati.
Ketika map-map itu ditutup kembali, seolah ada pintu di dalam diri mereka yang ikut terkunci—bukan menyimpan luka, namun merapikan sebuah bab yang telah selesai dengan kesadaran.
Di depan ambang pintu, Alya berucap pelan, “Semoga kau menemukan ketenangan setelah ini.”
Arif membalas dengan senyum kecil yang tulus. “Semoga kau dan Adel selalu diliputi kebaikan.”
Mereka melangkah menjauh ke arah yang berbeda, masing-masing membawa satu kunci rumah dan satu kenangan yang tetap utuh di baliknya.
Begitulah, pada sore yang diliputi keheningan, mereka memilih jalan paling mulia: membagi adil, melepaskan tanpa dendam, dan belajar bernapas tanpa perlu saling melukai lagi.






