Menjadi wartawan bukanlah pekerjaan yang mudah seperti dibayangkan banyak orang. Di balik tulisan-tulisan yang tersaji setiap hari, ada tanggung jawab besar untuk menjaga akurasi, integritas, dan kepercayaan publik. Seorang wartawan bukan sekadar penulis berita, tetapi juga penjaga nurani publik yang dituntut bersikap sopan, santun, dan beretika dalam setiap langkahnya.
Selain keterampilan menulis, seorang jurnalis sejati harus memiliki keberanian dalam menyampaikan fakta. Tugas utama wartawan adalah mencari dan menyajikan informasi yang penting bagi masyarakat, bukan sekadar menarik perhatian, tetapi mencerdaskan pembaca.
Memahami Hakikat Pers
Secara umum, pers merupakan media massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, data, maupun grafik. Kata “pers” berasal dari bahasa Belanda, yang dalam bahasa Inggris berarti press. Secara harfiah, pers berarti cetak; namun dalam makna yang lebih luas, pers adalah kegiatan publikasi atau penyiaran melalui berbagai media massa.
Dalam arti luas, pers mencakup semua media komunikasi seperti radio, televisi, dan platform digital yang menyebarkan informasi, ide, dan opini. Sementara dalam arti sempit, pers merujuk pada media cetak seperti surat kabar, majalah, atau tabloid.
Kegiatan pers erat kaitannya dengan masyarakat karena berperan sebagai penyampai informasi, pengawas kekuasaan, dan sarana pembentukan opini publik. Fungsi ini hanya dapat berjalan baik bila dijalankan dengan menjunjung tinggi etika dan tanggung jawab sosial.
Makna Etika dalam Dunia Pers
Kata etika berasal dari bahasa Yunani Kuno ethos, yang berarti adat atau kebiasaan. Aristoteles (384–322 SM) mengembangkan konsep ini menjadi landasan ilmu moral, yang menilai baik dan buruknya tindakan manusia. Dalam konteks jurnalistik, etika menjadi kompas moral agar wartawan tidak menyimpang dari kebenaran dan keadilan.
Etika pers diwujudkan dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang menjadi pedoman bagi wartawan Indonesia. Kode etik ini dirumuskan untuk menjamin kemerdekaan pers, memenuhi hak publik atas informasi yang benar, dan menjaga integritas profesi.
Berikut beberapa prinsip utama Kode Etik Jurnalistik:
1. Wartawan bersikap independen dan menghasilkan berita yang akurat, berimbang, serta tidak beritikad buruk.
2. Wartawan menempuh cara-cara profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
3. Wartawan menguji kebenaran informasi, tidak mencampuradukkan fakta dan opini yang menghakimi.
4. Wartawan tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, atau cabul.
5. Wartawan tidak menyebut identitas korban kejahatan asusila dan anak di bawah umur.
6. Wartawan tidak menyalahgunakan profesi, tidak menerima suap, dan menghormati kesepakatan off the record.
7. Wartawan tidak menulis berdasarkan prasangka atau diskriminasi atas dasar suku, ras, agama, jenis kelamin, atau kondisi fisik.
8. Wartawan menghormati kehidupan pribadi narasumber kecuali untuk kepentingan publik.
9. Wartawan wajib memperbaiki kesalahan pemberitaan dan melayani hak jawab secara proporsional.
Mantan Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu pernah menegaskan bahwa,"Etika jurnalistik adalah benteng moral wartawan. Tanpa etika, kebebasan pers hanya akan menjadi kebebasan tanpa arah yang bisa merusak kepercayaan publik.
Tantangan Etika Pers di Indonesia
Secara regulasi, Indonesia memiliki dasar hukum yang kuat untuk menjaga profesionalisme pers, antara lain Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Selain itu, ada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang diawasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), serta keberadaan Dewan Pers yang berfungsi menegakkan standar dan etika jurnalistik.
Namun, di tengah kemajuan teknologi dan derasnya arus informasi digital, tantangan etika semakin kompleks. Maraknya berita bohong (hoaks), jurnalisme klikbait, hingga pemberitaan yang sarat kepentingan politik menjadi tantangan besar bagi dunia pers Indonesia.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Sasmito Madrim pernah mengingatkan,"Industri media saat ini sering kali terjebak pada kepentingan ekonomi dan politik. Tantangan kita adalah menjaga agar ruang redaksi tetap independen dan berpihak pada kepentingan publik, bukan pemilik modal.
Fenomena dominasi elite politik dan bisnis dalam kepemilikan media menyebabkan banyak pemberitaan kehilangan objektivitas. Media massa yang seharusnya menjadi pilar keempat demokrasi, terkadang berubah menjadi alat pencitraan. Di tingkat daerah, praktik ini pun tidak jarang terjadi.
Menegakkan Hati Nurani Jurnalisme
Di tengah arus informasi yang deras, masyarakat dituntut lebih kritis dalam menyaring berita. Tidak semua yang viral adalah benar, dan tidak semua yang ramai diberitakan mewakili kenyataan.
Sebagai wartawan, tanggung jawab moral tidak berhenti pada menulis berita. Wartawan juga harus menjaga nurani, menjunjung nilai kemanusiaan, dan berpegang pada prinsip kebenaran.
Pers yang beretika bukan hanya alat informasi, melainkan jembatan kepercayaan antara fakta dan publik. Karena itu, seperti yang dikatakan tokoh pers nasional Jakob Oetama,
"Pers bukan hanya menyampaikan apa yang terjadi, tetapi juga mengajarkan bagaimana seharusnya manusia bersikap terhadap kenyataan.
Dengan menjunjung tinggi etika dan tanggung jawab sosial, wartawan bukan sekadar pelapor peristiwa, melainkan penjaga moral bangsa dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.
Semoga bermanfaat...!!!
Bagansiapiapi, 11 November 2025.






