Keterangan Photo Net/ Mahbub Djunaidi Tokoh Wartawan Indonesia.
Mediapesisirnews.com | Nama Mahbub Djunaidi terus bergema sebagai simbol keberanian di dunia jurnalistik Indonesia. Lelaki kelahiran 27 Juli 1933 ini bukan sekadar wartawan, tetapi seorang pejuang pena yang menulis dengan nyali, bukan sekadar kata-kata.
Dikenal sebagai pendiri Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Mahbub dijuluki Pendekar Pena berkat karya-karyanya yang tajam, satir, namun sarat pesan moral. Ia menolak keras mental wartawan yang hanya “menulis demi aman" dan menutup mata dari kebenaran.
Dalam salah satu pesan legendarisnya, Mahbub berujar tegas:
" Kalau ingin kaya, jangan jadi wartawan, jadilah pengusaha. Kalau penakut jangan jadi wartawan, jadilah tukang mie bakso.”
Pernyataan itu, dikutip dari artikel Mahbub Djunaidi, Jangan Jadi Wartawan Penakut! di NU Online, menjadi cambuk bagi generasi jurnalis masa kini yang sering terjebak pada rasa takut atau tekanan kepentingan.
Mahbub paham betul bahwa profesi wartawan adalah medan perjuangan. Risiko selalu mengintai mulai dari ancaman fisik, tekanan politik, hingga godaan suap. Namun baginya, keberanian adalah mata uang paling berharga dalam dunia jurnalistik.
Bahkan, di tengah situasi sosial-politik yang panas pada masanya, Mahbub tak segan mengkritik kekuasaan. Ia menulis dengan gaya yang memadukan humor, sindiran tajam, dan keberanian yang membuatnya dihormati sekaligus ditakuti.
Selain itu, Ia juga mendefenisikan beberapa jenis wartawan. Berikut lima jenis wartawan menurut Mahbub Djunaidi:
1. Wartawan Pejuang
Mereka yang menulis dengan idealisme tinggi, berani mengungkap kebenaran meski harus menghadapi risiko besar. Baginya, pena adalah senjata untuk memperjuangkan kepentingan publik.
2. Wartawan Penakut
Tipe ini menghindari isu-isu sensitif, takut menghadapi tekanan, dan lebih memilih aman. “Kalau penakut, jangan jadi wartawan jadilah tukang mie bakso,” kata Mahbub, menegaskan pandangannya.
3. Wartawan Dagang
Fokus utamanya bukan pada kebenaran, tetapi pada keuntungan pribadi. Liputan dan pemberitaan dijadikan komoditas yang bisa “dijual” kepada pihak berkepentingan.
4. Wartawan Proyek
Tipe yang selalu menunggu momen atau “proyek” tertentu untuk turun bekerja, biasanya terkait dengan keuntungan finansial atau kepentingan tertentu.
5. Wartawan Seniman
Mereka yang mengemas berita seperti karya seni indah dibaca, memikat, dan penuh rasa tetapi tetap menjaga fakta dan akurasi.
Mahbub menutup perjalanan hidupnya pada 1 Oktober 1995 di Bandung, Jawa Barat. Namun, warisannya tetap hidup bukan hanya dalam bentuk tulisan, tapi juga dalam prinsip wartawan sejati harus berani, jujur, dan berpihak pada kebenaran.
Di era banjir informasi saat ini, pesan Mahbub seakan menemukan relevansinya kembali. Sebab, di balik layar digital dan gempuran media sosial, jurnalis tetap dihadapkan pada pertanyaan yang sama: Apakah kau akan menulis dengan keberanian, atau memilih diam dalam ketakutan.
Profil Singkat Mahbub Djunaidi
Dilansir dari laman id.m.wikipedia.org, Mahbub Djunaidi lahir pada 27 Juli 1933 dan diusia 62 tahun ia meninggal tepat pada 01 Oktober 1995. Dia seorang sastrawan Indonesia dan Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang pertama.
Ayahnya, H. Djunaidi adalah seorang seorang tokoh NU dan anggota DPR hasil dari Pemilu 1955. Ia merupakan anak pertama dari 13 saudara kandungnya.
Mahbub Djunaidi lahir di Jakarta, tetapi harus pindah ke Solo karena kondisi di Jakarta yang sedang bergejolak. Selama di Solo, ia bersekolah di Madrasah Mambaul Ulum. Pada saat itulah, ia mulai mengenal beragam karya sastra mulai dari Mark Twain, Sutan Takdir Alisyahbana dan lain-lain.
Ia terkenal sebagai tokoh wartawan dan sastra. Selain itu, ia merupakan mantan aktivis HMI dan sekaligus Ketua Umum PMII Pusat pertama.
Sumber: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Mahbub_Djunaidi
Editor: Redaksi






